Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mencuat pada awal 2025, seiring dengan beredarnya draf revisi yang memicu kontroversi di kalangan praktisi hukum, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil.
Salah satu perubahan signifikan dalam RUU KUHAP adalah pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan. Hal ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Ketua Umum DPN PERADI Suara Advokat Indonesia, Juniver Girsang, yang menilai bahwa penyidikan seharusnya tetap menjadi kewenangan kepolisian. Menurutnya, jika kejaksaan diberikan wewenang penyidikan, akan terjadi ketimpangan dalam proses penegakan hukum, karena tidak ada lagi kontrol dari penyidik lain seperti polisi.
RUU KUHAP juga dinilai kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, perempuan, dan orang tua. Beberapa pasal yang mengatur hak kelompok rentan dianggap tidak cukup detail dalam menjamin akses hak mereka, sehingga berpotensi hanya menjadi formalitas belaka.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki pandangan kritis terhadap beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dapat mempengaruhi efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam draf RUU KUHAP, penyadapan diatur memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Namun, KPK berpendapat bahwa sebagai lembaga dengan kewenangan khusus dalam pemberantasan korupsi, penyadapan sebaiknya tetap mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang KPK yang tidak memerlukan izin tersebut. KPK menerapkan asas lex specialis, di mana undang-undang yang lebih khusus mengesampingkan yang lebih umum.
RUU KUHAP mengusulkan penghapusan proses penyelidikan, yang menurut KPK dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Penyelidikan dianggap sebagai tahap penting dalam pengumpulan bukti awal sebelum penyidikan.
Sementara itu, Mahkamah Agung melalui Ketua Kamar Pidana, Prim Haryadi, mengusulkan penghapusan Pasal 250 Ayat 3 dalam draf RUU KUHAP yang membatasi putusan Mahkamah Agung (MA) agar tidak lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi (PT). Menurut Prim, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin independensi kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, MA meminta agar ketentuan tersebut dihapus dari draf RUU KUHAP.
Lebih lanjut MA mengusulkan agar RUU KUHAP mengatur mekanisme keberatan bagi pihak ketiga terkait penyitaan atau perampasan barang bukti. Hal ini penting untuk melindungi hak pihak ketiga yang mungkin dirugikan oleh tindakan penyitaan tersebut. Prim menekankan bahwa beberapa undang-undang khusus telah memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan, dan hal ini perlu diakomodasi dalam RUU KUHAP.
MA menambahkan agar RUU KUHAP mengatur persidangan elektronik dan mekanisme percepatan persidangan untuk perkara dengan ancaman hukuman di bawah tujuh tahun. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi peradilan, terutama mengingat kendala geografis dan sumber daya yang terbatas di beberapa daerah. Prim menyebut bahwa perkembangan teknologi saat ini memungkinkan pelaksanaan persidangan elektronik, yang dapat menghemat waktu dan biaya.
Beberapa pasal dalam RUU KUHAP dianggap berpotensi melanggar hak asasi manusia. Misalnya, Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan pemeriksaan “dapat” direkam, seharusnya bersifat wajib untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, Pasal 93 ayat (5) tentang penahanan dinilai bertentangan dengan hak ingkar tersangka atau terdakwa.
Pasal lainnya adalah Pasal 137 hingga 139 mengatur hak-hak kelompok rentan, namun tidak menyediakan mekanisme operasional yang jelas untuk pemenuhan dan penegakannya. Akibatnya, hak-hak tersebut berpotensi hanya menjadi simbol tanpa implementasi nyata.
RUU KUHAP juga membatasi peran advokat dalam pembelaan hukum, seperti hanya diperkenankan mendengar dan melihat dalam pemeriksaan tanpa dapat berpartisipasi aktif. Selain itu, terdapat ketentuan yang melarang advokat memberikan pendapat di luar pengadilan terkait kliennya, yang dianggap bertentangan dengan kebebasan profesi advokat. Dalam Pasal 93 ayat (5) memperkenalkan sembilan alasan penahanan, termasuk alasan yang bersifat subjektif seperti “menghambat proses pemeriksaan” atau “tidak bekerja sama.” Hal ini dikhawatirkan dapat disalahgunakan dan bertentangan dengan hak tersangka atau terdakwa.
Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa RUU KUHAP dan RUU Polri memperbesar kewenangan aparat penegak hukum, yang dapat meningkatkan risiko pelanggaran HAM. Perluasan kewenangan ini dikhawatirkan tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Sumber : Hukum Online Detik
Penulis: Nasru Zarra Alirais
Editor: Nasru Zarra Alirais